hai..haii.haiii.
morning sunshine on friday...
karena
hari ini hari jumat berkah :)), saya akan berbagi sedikit sejarah
tentang pembangunan salah satu masjid yang terdapat di sulawesi selatan
yang di kenal dengan Masjid Tua Katangka, sebenarnya masjid ini jadi
salah satu tugas saya untuk Mata Kuliah Revitalisasi Kawasan, jd output
dari tugas sy nnt pasti akan sy masukkan d blog ini klo sdh kelar :)) .
Sedikit Sejarah Pembangunan "Masjid Tua Al-Hilal Katangka"
Mesjid Tua Al-Hilal Katangka disebut juga Masjid Agung Syeh Yusuf merupakan
mesjid pertama dan tertua di Gowa, sekaligus masjid tertua ke dua di Indonesia
setelah masjid Jami’ Tua Palopo. Penamaan mesjid ini dari nama Syufi
Kharismatik yang dipuja masyarakat Sulawesi Selatan. Syufi tersebut adalah Syeh
Yusuf Al Makkasari yang merupakan kerabat raja Gowa.
Syekh Yusuf lahir 3 Juli 1626 di Kabupaten Gowa, gigih melawan penjajah
Belanda, diasingkan ke Capetown, Afrika Selatan dan meninggal dunia dalam usia
73 tahun pada tanggal 23 Mei 1699, dimakamkan di daerah pertanian Zanvliet di
Distrik Stellenbosch, Afrika Selatan. Atas permintaan Raja Gowa, Abdul Djalil,
5 April 1795, makam Syekh Yusuf dipindahkan ke Lakiung, tak jauh dari Masjid
Katangka.
Pemerintah Indonesia menetapkan Syekh Jusuf sebagai pahlawan nasional dan
di Afrika Selatan, ia mendapat tempat yang sangat istimewa di hati rakyat
sebagai pahlawan pembebasan kaum tertindas dan juga dianugerahi gelar pahlawan
nasional di negara itu.
Masjid Tua Al-Hilal dibangun pada masa pemerintahan raja Gowa XIV bernama
Aku Manga'ragi Daeng - Manrabbiakaraeng Lakiung (Sultan Alauddin I) tahun 1603,
Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Sultan
Alauddin adalah kakek dari I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng
Bontomangape Tumenanga ri Balla Pangkana atau yang dikenal dengan nama Sultan
Hasanuddin, Raja Gowa ke-16.
Arsitektur masjid Tua Al-Hilal Katangka ini telah menginspirasi gubernur
Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pada tahun 2009 untuk mendirikan masjid
masjid dengan bentuk yang sama di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Dimulai dengan
pembangunan masjid di kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep (Pangkajene
kepulauan) Sulawesi Selatan
Lokasi Masjid ini
Terletak di Jl. Syeh Yusuf, Desa Katangka, Kecamatan Sumba Ompu, Kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan. Masjid ini berada di perbatasan antara Kota Makassar dan
Kabupaten Gowa. Jarak lokasi sekitar 10 kilometer sebelah selatan pusat Kota
Makassar (Lapangan Karebosi). Terletak di koordinat S5 11 27.0 E119 27
05.5. dan hanya 1,5 kilometer (km) dari Sungguminasa, ibu kota Kabupaten
Gowa atau sekitar 9 km dari Kota Makassar, tak jauh dari makam Pahlawan
Nasional Syekh Jusuf atau tokoh yang dijuluki Tuanta Sa-lamaka, pemimpin yang
membawa keselamatan ummat.
Masjid Tua Al-Hilal terdaftar sebagai benda cagar budaya pemerintah
propinsi Sulawesi Selatan dengan nomor urut inventaris 98. dan sudah ditetapkan
sebagai benda cagar budaya nasional melalui surat keputusan Nomor :
240/M/1999, tanggal 4 Oktober 1999, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Juwono Sudarsono, dengan Luas bangunan 212,7 m2 dan dikelilingi pagar besi,
dengan tiang pagar dari tembok. Arsitektur bangunan merupakan campuran seni
bangunan Makassar dan Islam. Dalam bangunan terdapat tiang soko guru, mimbar
dan mihrab. Pintu masuk menuju ke beranda mesjid hanya sebuah terletak di muka.
Pada dinding depan sebelah kiri-kanan pintu terdapat hiasan terawang yang
berfungsi sebagai lubang angin. Di beranda ini terdapat tembok dan di bagian
atasnya berterawang dari keramik yang semula dipergunakan pembatas tempat
wudhu. Tiga buah pintu masuk ke ruang tengah tempat sholat memiliki hiasan
tulisan Arab dan berbahasa Makassar. Tulisan ini terdapat di ambang pintu
bagian atas. Atap mesjid bertingkat tiga dari bahan genteng. Antara atap mesjid
tingkat dua dan tiga terdapat pemisah berupa ruangan berdinding tembok dengan
jendela di keempat sisinya. Di puncak mesjid terdapat mustaka. Pada zamannya
masjid tua Al-Hilal katangka ini di sebut dengan Grote moskee van Gowa,
vermoedelijk te Makassar 1910, karena menara yang di miliki oleh masjid
ini, tetapi keadaan sekarang menara di masjid itu telah hilang.

Luas masjid ini 174,24 meter persegi. Pada zamannya, masjid ini termasuk
besar, mewah, dan dianggap penting karena konstruksinya terbuat dari batu bata.
Hanya bangunan penting yang dibuat dari batu bata saat itu, seperti istana dan
benteng. Fungsi utamanya tentu sebagai tempat ibadah. Setiap datang waktu
salat, masjid ini ramai dipenuhi jamaah. Tetapi, ada beberapa makam di halaman
masjid. Itu adalah makam para pemuka agama dan kerabat pendiri masjid. Khusus
makam para pendiri masjid memiliki atap di atasnya berbentuk kubah.
Salah satu yang mencirikan masjid ini merupakan bangunan kuno adalah
dindingnya. Dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, mencapai 120
centimeter. Struktur atapnya mirip bangunan joglo. Memiliki empat tiang
penyangga yang dalam arsitektur Jawa disebut soko guru. Hanya saja terbuat dari
susunan batu, bukan kayu. Terdapat dua lapis atap. Atap bagian atas berbentuk
segi tiga piramida dengan bahan dari genting. Masjid ini juga memiliki serambi
sebagaimana umumnya masjid di Jawa. Pengaruh kebudayaan Cina terlihat pada atap
mimbar yang mirip bentuk atap klenteng. Di sekitar mimbar juga masih terpasang
keramik dari Cina yang konon dibawa oleh salah satu arsiteknya yang berasal
dari sana.
Sejak didirikan tahun 1603M, oleh
Raja Gowa ke-24, Sultan Alauddin (I Manga’ragi Daeng Manrabbia Karaeng
Lakiung). Kemudian ditahun 1605M dijadikan sebagai masjid kerajaan dengan nama
Masjid Katangka, Masjid tua Katangka sudah beberapa kali mengalami perombakan
dan renovasi. Berikut catatan renovasi yang pernah terjadi terhadap masjid tua
Katangka.
1.
Tahun 1818 oleh Mangkubumi Gowa XXX, Sultan Kadir
2.
Tahun 1826 Oleh Raja Gowa XXX, Sultan Abdul Rauf
3.
Tahun 1893 oleh Raja gowa XXXIV , Sultan Muhhamad
Idris
4.
Tahun 1948 oleh Raja Gowa XXXVI, Sultan Muhammad abdul
Aidid dan Qadhi Gowa H. Manysur Daeng Limpo
5.
Tahun 1962 oleh Mangkubumi Gowa Andi Baso Daeng Rani
Karaeng Bontolangkasa
6.
Tahun 1979 oleh Depdikbud RI, selanjutnya masjid ini
lebih dikenal oleh masyarakat sebagai masjid Al Hilal Katangka. Dan
7.
Terahir direhabilitasi pada tahun 2007 oleh pengurus
masjid sendiri dengan dana yang bersumber dari swadaya masyarakat dan sebagian
dari bantuan pemerintah. Kondisi terkini bagian dalam masjid bersejarah
tersebut telah jauh lebih modern.
Dindingnya meski tidak dilapisi keramik atau porselin tampak sangat
terjaga. Tiang penyangga berbentuk pilar, berwarna putih. Lantai dasar telah
dihiasi keramik berwarna krem. Lalu ada beberapa kipas angin gantung, sebagai
pemberi hawa sejuk saat beribadah. Seiring dengan renovasi, daya tampung
masjid terus diperluas. Daeng Ngeppe
seorang juru kunci dari masjid tua Al-Halil katangka memperkirakan saat
ini masjid tersebut sudah bisa menampung sekitar 700-an jemaah.
Konon masjid Katangka yang terletak di Kabupaten Gowa merupakan tonggak
sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Dari sejak dibangunnya sekitar
400 tahun silam, suasana dan kegiatan di masjid ini tidak terlalu banyak
mengalami perubahan. Masjid Tua Katangka masih berdiri kokohdan tetap
mempertahankan fungsinya sebagai tempat pengajaran agama Islam. Masjid ini
terletak di Jalan Syech Yusuf, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu,
Sulawesi Selatan. Untuk menjangkaunya, butuh waktu 30 menit berkendaraan mobil
dari pusat keramaian kota Makassar. Masjid ini terus ramai dipadati jamaah yang
ingin menunaikan shalat lima waktu. Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa beribadah
di masjid tersebut membawa berkah tersendiri bagi mereka, kendati semua masjid
merupakan “rumah Allah”. Tak heran jika pada bulan Ramadhan, masjid ini seakan
tak mampu membendung membludaknya jamaah yang akan beribadah di dalamnya. Nama
asli masjid ini adalah Ali-Hilal. Namun, masyarakat dan juga sejarah lebih
mengenalnya dengan sebutan Masjid tua Katangka. Hal ini disebabkan mengingat
masjid ini yang tertua di Katangka, malah di seluruh Sulawesi Selatan. Lahir
lebih awal dibandingkan dengan masjid tua lainnya di Sulawesi Selatan. seperti
masjid Jami’ Palopo di Kabupaten Luwu (berdiri tahun 1604) dan Masjid Nurul
Hilal di Kabupaten Bulukumba (dibangun pada tahun 1605).
Sejarah kelahiran Masjid Tua Katangka bisa ditelusuri dari prasasti yang
tertoreh di pintu utamanya. Ditulis dalam Bahasa Makassar namun menggunakan
huruf Arab, masyarakat setempat mengenalnya sebagai huruf uki ri serang. Bila
diterjemahkan dalam Indonesia, pesan itu kurang lebih berarti :”Masjid ini
dibangun pada hari Senin 7 Rajab 1011 Hijriah bertepatan dengan 18 April 1603
Masehi. Pada kurun waktu itu, wilayah Gowa masih berbentuk kerajaan. Adapun
yang duduk di kursi singgasana adalah Raja Gowa ke-14 bernama I Manga’rangi
Daeng Manra’bia. Karaeng Tumenagari Bonto Biraeng (1593 – 1639). Dalam
menjalankan roda pemerintahan, Manga’rangi dibantu oleh Tumabbicara Butta atau
Mangkubumi Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyori. Duet raja dan mangkubumi ini
tercatat sebagai petinggi kerajaan Gowa pertama yang masuk Islam.
Masuknya Islam ke Gowa tak lepas dari posisi daerah ini yang strategis.
Letaknya yang di bibir pantai membuat Gowa menjadi pusat perniagaan penting.
Kaum pendatang, terutama para saudagar, berdatangan silih berganti. Mereka tak
hanya membawa barang dagangan, melainka juga budaya dan agama, terutama agama
Islam, mereka kebanyakan berasal dari Ras Melayu, terutama dari Sumatera Barat.
Sejak kedatangan para pedagang asal Sumatera Barat, pelan tapi pasti, banyak
warga Gowa yang mulai memeluk Islam. Lambat laun, ajaran ini akhirnya masuk
juga ke lingkungan istana. Salah seorang dari sejumlah penyiar Islam yang
paling berpengaruh masa itu adalah Abdul Mahmud Khatib Tunggal asal Padang
Darat, Kampung Kota Tengah, Sumatera Barat. Warga Gowa sering memanggilnya
Datuk Ri Bandang. Dalam melaksanakan syiarnya, Datuk Ri Bandang dibantu oleh
Khatib Sulaeman atau dikenal sebagai Datuk Ri Patimang dan Khatib Bungsu atau
lebih dikenal dengan panggilan Datuk Ri Tiro. Tiga serangkai inilah yang sukses
menembus tembok istana danberhasil mengislamkan Raja Gowa ke-14 beserta
mangkubuminya.
Awalnya raja tidak terang-terangan berpindah keyakinan. Raja baru resmi
memeluk Islam pada 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605, dua tahun
sejak memerintahkan pembangunan masjid Tua Katangka. Prosesi ini ditandai
dengan pengucapan dua kalimat syahadat, baik oleh Raja Gowa maupun
mangkubuminya. Lantas raja mendapat gelar Sultan Alauddin, sedangkan Mangkubumi
Malangkang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Sejak itu, penyebaran Islam
menjadi pesat, segenap rakyat berbondong-bondong memeluknya. Dua tahun
kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo menyatakan diri memeluk agama Islam.
Selain itu, Islam pun secara resmi menjadi agama kerajaan. Hal ini ditandai
dengan pelaksanaan shalat Jumat untuk pertama kalinya di Masjid Tua Katangka
pada 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607. Menempati areal seluas 610 meter
persegi. Semula, luas bangunan masjid adalah 13 x 13 m. Setelah beberapa kali
mengalami renovasi, kini luasnya 212,7meter persegi.Di sekeliling bangunan
berdiri pagar besi setinggi satu meter. Dari sisi arsitektur, masjid yang mampu
menampung 300 jamaah dalam 12 shaf ini ini terlihat sederhana, terdiri dari dua
lantai, namun ukuran bangunan bagian atas sangat kecil, sehingga dari kejauhan
tampak menyerupai kubah.
Sejak
berdiri, Masjid Katangka menjadi pintu utama penyebaran Islam di seluruh
pelosok Sulawesi Selatan. Sederet ulama besar pernah punya andil menghidupkan
syiar Islam di Masjid Katangka. Satu diantaranya ialah Syekh Yusuf Taj
al-Khalawati, ulama sekaligus pejuang yang sempat dibuang Belanda ke Afrika
Selatan, yang lebih dikenal dengan nama Tuanta Salamaka Sehingga
Masjid Katangka merupakan benteng di dalam benteng, benteng pertahanan bagi
raja dan keluarga besar Kerajaan Gowa.
Masjid Al
Hilal Katangka dulunya merupakan masjid kerajaan. Letak masjid berada di
sebelah utara kompleks makam Sultan Hasanuddin. Lokasi makam yang
diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika
itu. Sebuah jalan yang dikenal sebagai batu palantikang, merupakan jalan yang
sering dilintasi raja dan keluarga menuju masjid. Sebelum sampai masjid kita
akan menjumpai sebuah sumur yang usianya jauh lebih tua dari masjid Katangka,
namanya Bungung Lompo, sebuah sumur yang tidak pernah kering meskipun musim
kemarau melanda. Bungung ini dipakai oleh para prajurit Kerajaan Gowa
mensucikan diri sebelum berangkat ke medan perang, dan
setelah masjid tua Katangka berdiri, sumur ini kemudian menjadi tempat berwudhu
para jamaah sebelum menunaikan sholat. Selain ‘Bungung Lompoa’, di dinding
utara luar masjid juga terdapat satu sumur lagi, sumur itu sama tuanya dengan
masjid Tua Al-Halil Katangka. Air dari sumur ini juga diyakini bertuah, bisa
membuat awet muda bagi orang-orang yang berwudhu atau sekadar membasuh muka.
Menurut Juru Kunci masjid Tua Al-halil Katangka,
Masjid ini pernah memiliki koleksi kitab dan catatan yang berisi ilmu
pengetahuan mengenai agama yang berusia tua dan berasal dari Arab, tapi banyak
yang hilang dan telah musnah, sejumlah perangkat asli di masjid ini hilang dan
musnah diakibatkan oleh dua kemungkinan, pertama boleh jadi karena dimakan
usia, atau hilang akibat kemungkinan kedua, yakni perang. Saat perang
berkecamuk antara Kerajaan Gowa dan Belanda, Masjid tua Katangka, berkali-kali
dijadikan sebagai benteng pertahanan, ketebalan temboknya yang mencapai 120
centimeter dengan susunan batubata dalam posisi miring membuktikan kisah itu,
bahwa Masjid Tua Katangka tidak sekadar tempat untuk sholat atau beribadah,
tetapi inilah satu-satunya masjid di dunia yang sekaligus berfungsi sebagai
benteng pertahanan di masa peperangan. Masjid tua Katangka didirikan di dalam
areal Benteng Kalegowa yang berarti masih dalam kawasan Istana Tamalatea.
Benteng Kalegowa merupakan benteng terkuat yang dimiliki Kerajaan Gowa pada
masa itu. Rumah-rumah raja dan bangsawan dibangun dalam benteng ini. Dinding
Masjid Tua Katangka dibangun dengan bahan yang sama dengan dinding Benteng
Kalegowa.
Menurut catatan sejarah, dinding Benteng Kalegowa
dibuat dari susunan bata dengan posisi miring, tidak direbahkan sebagaimana
posisi pemasangan batu-bata di zaman sekarang. Konon, untuk merekatkan bata
tersebut hanya menggunakan telur dan kapur. Begitupula dengan konstruksi
bangunan masjid dibuat sama dengan kontruksi bangunan benteng. Sehingga Masjid
Katangka merupakan benteng di dalam benteng, benteng pertahanan bagi raja dan
keluarga besar Kerajaan Gowa. Menurut juru Kunci Masjid Tua Al-halil Katangka,
ketebalan dinding masjid mampu menahan serangan meriam atau bedil milik tentara
Belanda. Serangan Belanda berhasil membumiratakan Benteng Kalegowa. Tidak
sebata pun yang disisakan kecuali yang berada dalam dinding Masjid Katangka.
Tembok setebal 120 cm. Dibangun sekuat benteng
pertahanan. Fungsi masjid sebagai benteng juga diperkuat dengan ditemukannya
meriam beserta pelurunya saat dilakukan penggalian di bagian halaman masjid.
Meriam tersebut kemudian dipindahkan ke komplek Makam Sultan Hasanuddin di
Pallantikang.
“Plafon masjid yang terbuat dari seng plat tebal dan berombak itu juga
didatangkan dari Belanda,” kata Juru Kunci Masjid ini sambil menunjuk ke arah
plafon masjid. Pada plafon itu terdapat lampu lampion yang digantung dengan
menggunakan gantungan besi. Tetapi lampion itu tidak pernah lagi dinyalakan, Masjid
Tua Al Hilal Katangka ikut menyesuaikan diri dengan zaman; bedug diganti dengan
pengeras suara, lampion diganti lampu listrik. Bahkan enam unit pendingin udara
(air conditioner) telah terpasang di sudut-sudut ruangan masjid, untuk
menggantikan fungsi jendela sebagai sirkulasi udara.
Pada Gambar
di samping terlihat dua lembing di
sisi kiri kanan mihrab. Sebuah cerita unik mengenai keberadaan dua lembing di
kiri dan kanan mihrab. Kedua lembing ini diikatkan bendera yang bertuliskan
kalimat syahadat. Konon di masa lalu, setiap pelaksanaan sholat jumat di masjid
ini, khatib yang bertugas membacakan naskah khotbah dikawal dan dijaga oleh dua
prajurit Kerajaan Gowa. Dua prajurit bertombak itu bertugas mengawal dan
menjaga khatib di atas mimbar, serta menghalau jemaah sholat jumat yang
biasanya berlomba-lomba menggigit ujung naskah khotbah yang tengah dibacakan
sang khatib.
“Waktu itu orang-orang percaya bahwa barang siapa yang
mampu menggigit ujung naskah khotbah yang terbuat dari gulungan daun lontara,
maka orang itu akan menjadi sakti dan kebal terhadap ujung senjata tajam jenis
apapun,” kata Juru Kunci Masjid Tua Al-Halil Katangka memulai kisahnya.
Akibat
munculnya kepercayaan tersebut, maka sholat jumat selalu berakhir kacau oleh
jemaah yang berebutan menggigit ujung naskah khotbah yang dibacakan sang
khatib. Raja Gowa, I Mangngarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri
Gaukanna atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Alauddin, kemudian mengutus dua
prajurit bertombak untuk menjaga dan mengawal khatib serta menghalau jamaah
yang berebutan ingin menggigit ujung naskah khotbah itu. Lama kelamaan seiring
pemahaman masyarakat Gowa terhadap Islam semakin baik, dan kepercayaan tersebut
sedikit demi sedikit berangsur hilang, maka khatib tidak lagi dikawal oleh
prajurit, namun replika lembing atau tombak milik prajurit kerajaan tetap di
pasang di sisi kiri dan kanan mihrab.
“Adapun
bendera yang bertuliskan lafadz ‘Lailaha Illalloh’ itu merupakan simbol bahwa
agama Islam secara resmi telah dijadikan sebagai agama Kerajaan Gowa-Tallo
ketika itu. Tapi lembing yang berada di sisi mimbar, sudah bukan asli lagi.
Bagian mimbar yang terbuat dari kayu juga sudah diganti karena sudah lapuk
dimakan usia,”