5/17/2013

sejarah Pembangunan Masjid Tua Al-Hilal Katangka

hai..haii.haiii.
morning sunshine on friday...
karena hari ini hari jumat berkah :)), saya akan berbagi sedikit sejarah tentang pembangunan salah satu masjid yang terdapat di sulawesi selatan yang di kenal dengan Masjid Tua Katangka, sebenarnya masjid ini jadi salah satu tugas saya untuk Mata Kuliah Revitalisasi Kawasan, jd output dari tugas sy nnt pasti akan sy masukkan d blog ini klo sdh kelar :)) .

Sedikit Sejarah Pembangunan "Masjid Tua Al-Hilal Katangka"

     Mesjid Tua Al-Hilal Katangka disebut juga Masjid Agung Syeh Yusuf merupakan mesjid pertama dan tertua di Gowa, sekaligus masjid tertua ke dua di Indonesia setelah masjid Jami’ Tua Palopo. Penamaan mesjid ini dari nama Syufi Kharismatik yang dipuja masyarakat Sulawesi Selatan. Syufi tersebut adalah Syeh Yusuf Al Makkasari yang merupakan kerabat raja Gowa.
Syekh Yusuf lahir 3 Juli 1626 di Kabupaten Gowa, gigih melawan penjajah Belanda, diasingkan ke Capetown, Afrika Selatan dan meninggal dunia dalam usia 73 tahun pada tanggal 23 Mei 1699, dimakamkan di daerah pertanian Zanvliet di Distrik Stellenbosch, Afrika Selatan. Atas permintaan Raja Gowa, Abdul Djalil, 5 April 1795, makam Syekh Yusuf dipindahkan ke Lakiung, tak jauh dari Masjid Katangka. 
     Pemerintah Indonesia menetapkan Syekh Jusuf sebagai pahlawan nasional dan di Afrika Selatan, ia mendapat tempat yang sangat istimewa di hati rakyat sebagai pahlawan pembebasan kaum tertindas dan juga dianugerahi gelar pahlawan nasional di negara itu.
Masjid Tua Al-Hilal dibangun pada masa pemerintahan raja Gowa XIV bernama Aku Manga'ragi Daeng - Manrabbiakaraeng Lakiung (Sultan Alauddin I) tahun 1603, Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Sultan Alauddin adalah kakek dari I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Tumenanga ri Balla Pangkana atau yang dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16.
Arsitektur masjid Tua Al-Hilal Katangka ini telah menginspirasi gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pada tahun 2009 untuk mendirikan masjid masjid dengan bentuk yang sama di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Dimulai dengan pembangunan masjid di kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep (Pangkajene kepulauan) Sulawesi Selatan
Lokasi Masjid ini Terletak di Jl. Syeh Yusuf, Desa Katangka, Kecamatan Sumba Ompu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masjid ini berada di perbatasan antara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Jarak lokasi sekitar 10 kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi).  Terletak di koordinat S5 11 27.0 E119 27 05.5.  dan hanya 1,5 kilometer (km) dari Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa atau sekitar 9 km dari Kota Makassar, tak jauh dari makam Pahlawan Nasional Syekh Jusuf atau tokoh yang dijuluki Tuanta Sa-lamaka, pemimpin yang membawa keselamatan ummat.
Masjid Tua Al-Hilal terdaftar sebagai benda cagar budaya pemerintah propinsi Sulawesi Selatan dengan nomor urut inventaris 98. dan sudah ditetapkan sebagai  benda cagar budaya nasional melalui surat keputusan Nomor : 240/M/1999, tanggal 4 Oktober 1999, oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Juwono Sudarsono, dengan Luas bangunan 212,7 m2 dan dikelilingi pagar besi, dengan tiang pagar dari tembok. Arsitektur bangunan merupakan campuran seni bangunan Makassar dan Islam. Dalam bangunan terdapat tiang soko guru, mimbar dan mihrab. Pintu masuk menuju ke beranda mesjid hanya sebuah terletak di muka. Pada dinding depan sebelah kiri-kanan pintu terdapat hiasan terawang yang berfungsi sebagai lubang angin. Di beranda ini terdapat tembok dan di bagian atasnya berterawang dari keramik yang semula dipergunakan pembatas tempat wudhu. Tiga buah pintu masuk ke ruang tengah tempat sholat memiliki hiasan tulisan Arab dan berbahasa Makassar. Tulisan ini terdapat di ambang pintu bagian atas. Atap mesjid bertingkat tiga dari bahan genteng. Antara atap mesjid tingkat dua dan tiga terdapat pemisah berupa ruangan berdinding tembok dengan jendela di keempat sisinya. Di puncak mesjid terdapat mustaka. Pada zamannya masjid tua Al-Hilal katangka ini di sebut dengan Grote moskee van Gowa, vermoedelijk te Makassar 1910, karena menara yang di miliki oleh masjid ini, tetapi keadaan sekarang menara di masjid itu telah hilang. 

 

Luas masjid ini 174,24 meter persegi. Pada zamannya, masjid ini termasuk besar, mewah, dan dianggap penting karena konstruksinya terbuat dari batu bata. Hanya bangunan penting yang dibuat dari batu bata saat itu, seperti istana dan benteng. Fungsi utamanya tentu sebagai tempat ibadah. Setiap datang waktu salat, masjid ini ramai dipenuhi jamaah. Tetapi, ada beberapa makam di halaman masjid. Itu adalah makam para pemuka agama dan kerabat pendiri masjid. Khusus makam para pendiri masjid memiliki atap di atasnya berbentuk kubah.
Salah satu yang mencirikan masjid ini merupakan bangunan kuno adalah dindingnya. Dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, mencapai 120 centimeter. Struktur atapnya mirip bangunan joglo. Memiliki empat tiang penyangga yang dalam arsitektur Jawa disebut soko guru. Hanya saja terbuat dari susunan batu, bukan kayu. Terdapat dua lapis atap. Atap bagian atas berbentuk segi tiga piramida dengan bahan dari genting. Masjid ini juga memiliki serambi sebagaimana umumnya masjid di Jawa. Pengaruh kebudayaan Cina terlihat pada atap mimbar yang mirip bentuk atap klenteng. Di sekitar mimbar juga masih terpasang keramik dari Cina yang konon dibawa oleh salah satu arsiteknya yang berasal dari sana.
Sejak didirikan tahun 1603M, oleh Raja Gowa ke-24, Sultan Alauddin (I Manga’ragi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung). Kemudian ditahun 1605M dijadikan sebagai masjid kerajaan dengan nama Masjid Katangka, Masjid tua Katangka sudah beberapa kali mengalami perombakan dan renovasi. Berikut catatan renovasi yang pernah terjadi terhadap masjid tua Katangka.
1.      Tahun 1818 oleh Mangkubumi Gowa XXX, Sultan Kadir
2.      Tahun 1826 Oleh Raja Gowa XXX, Sultan Abdul Rauf
3.      Tahun 1893 oleh Raja gowa XXXIV , Sultan Muhhamad Idris
4.      Tahun 1948 oleh Raja Gowa XXXVI, Sultan Muhammad abdul Aidid dan Qadhi Gowa H. Manysur Daeng Limpo
5.      Tahun 1962 oleh Mangkubumi Gowa Andi Baso Daeng Rani Karaeng Bontolangkasa
6.      Tahun 1979 oleh Depdikbud RI, selanjutnya masjid ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai masjid  Al Hilal Katangka. Dan
7.      Terahir direhabilitasi pada tahun 2007 oleh pengurus masjid sendiri dengan dana yang bersumber dari swadaya masyarakat dan sebagian dari bantuan pemerintah. Kondisi terkini bagian dalam masjid bersejarah tersebut telah jauh lebih modern. 
     Dindingnya meski tidak dilapisi keramik atau porselin tampak sangat terjaga. Tiang penyangga berbentuk pilar, berwarna putih. Lantai dasar telah dihiasi keramik berwarna krem. Lalu ada beberapa kipas angin gantung, sebagai pemberi hawa sejuk saat beribadah. Seiring dengan renovasi, daya tampung masjid terus diperluas. Daeng Ngeppe  seorang juru kunci dari masjid tua Al-Halil katangka memperkirakan saat ini masjid tersebut sudah bisa menampung sekitar 700-an jemaah.

     Konon masjid Katangka yang terletak di Kabupaten Gowa merupakan tonggak sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Dari sejak dibangunnya sekitar 400 tahun silam, suasana dan kegiatan di masjid ini tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Masjid Tua Katangka masih berdiri kokohdan tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat pengajaran agama Islam. Masjid ini terletak di Jalan Syech Yusuf, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Sulawesi Selatan. Untuk menjangkaunya, butuh waktu 30 menit berkendaraan mobil dari pusat keramaian kota Makassar. Masjid ini terus ramai dipadati jamaah yang ingin menunaikan shalat lima waktu. Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa beribadah di masjid tersebut membawa berkah tersendiri bagi mereka, kendati semua masjid merupakan “rumah Allah”. Tak heran jika pada bulan Ramadhan, masjid ini seakan tak mampu membendung membludaknya jamaah yang akan beribadah di dalamnya. Nama asli masjid ini adalah Ali-Hilal. Namun, masyarakat dan juga sejarah lebih mengenalnya dengan sebutan Masjid tua Katangka. Hal ini disebabkan mengingat masjid ini yang tertua di Katangka, malah di seluruh Sulawesi Selatan. Lahir lebih awal dibandingkan dengan masjid tua lainnya di Sulawesi Selatan. seperti masjid Jami’ Palopo di Kabupaten Luwu (berdiri tahun 1604) dan Masjid Nurul Hilal di Kabupaten Bulukumba (dibangun pada tahun 1605).

     Sejarah kelahiran Masjid Tua Katangka bisa ditelusuri dari prasasti yang tertoreh di pintu utamanya. Ditulis dalam Bahasa Makassar namun menggunakan huruf Arab, masyarakat setempat mengenalnya sebagai huruf uki ri serang. Bila diterjemahkan dalam Indonesia, pesan itu kurang lebih berarti :”Masjid ini dibangun pada hari Senin 7 Rajab 1011 Hijriah bertepatan dengan 18 April 1603 Masehi. Pada kurun waktu itu, wilayah Gowa masih berbentuk kerajaan. Adapun yang duduk di kursi singgasana adalah Raja Gowa ke-14 bernama I Manga’rangi Daeng Manra’bia. Karaeng Tumenagari Bonto Biraeng (1593 – 1639). Dalam menjalankan roda pemerintahan, Manga’rangi dibantu oleh Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyori. Duet raja dan mangkubumi ini tercatat sebagai petinggi kerajaan Gowa pertama yang masuk Islam.

     Masuknya Islam ke Gowa tak lepas dari posisi daerah ini yang strategis. Letaknya yang di bibir pantai membuat Gowa menjadi pusat perniagaan penting. Kaum pendatang, terutama para saudagar, berdatangan silih berganti. Mereka tak hanya membawa barang dagangan, melainka juga budaya dan agama, terutama agama Islam, mereka kebanyakan berasal dari Ras Melayu, terutama dari Sumatera Barat. Sejak kedatangan para pedagang asal Sumatera Barat, pelan tapi pasti, banyak warga Gowa yang mulai memeluk Islam. Lambat laun, ajaran ini akhirnya masuk juga ke lingkungan istana. Salah seorang dari sejumlah penyiar Islam yang paling berpengaruh masa itu adalah Abdul Mahmud Khatib Tunggal asal Padang Darat, Kampung Kota Tengah, Sumatera Barat. Warga Gowa sering memanggilnya Datuk Ri Bandang. Dalam melaksanakan syiarnya, Datuk Ri Bandang dibantu oleh Khatib Sulaeman atau dikenal sebagai Datuk Ri Patimang dan Khatib Bungsu atau lebih dikenal dengan panggilan Datuk Ri Tiro. Tiga serangkai inilah yang sukses menembus tembok istana danberhasil mengislamkan Raja Gowa ke-14 beserta mangkubuminya.

     Awalnya raja tidak terang-terangan berpindah keyakinan. Raja baru resmi memeluk Islam pada 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605, dua tahun sejak memerintahkan pembangunan masjid Tua Katangka. Prosesi ini ditandai dengan pengucapan dua kalimat syahadat, baik oleh Raja Gowa maupun mangkubuminya. Lantas raja mendapat gelar Sultan Alauddin, sedangkan Mangkubumi Malangkang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Sejak itu, penyebaran Islam menjadi pesat, segenap rakyat berbondong-bondong memeluknya. Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo menyatakan diri memeluk agama Islam. Selain itu, Islam pun secara resmi menjadi agama kerajaan. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan shalat Jumat untuk pertama kalinya di Masjid Tua Katangka pada 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607. Menempati areal seluas 610 meter persegi. Semula, luas bangunan masjid adalah 13 x 13 m. Setelah beberapa kali mengalami renovasi, kini luasnya 212,7meter persegi.Di sekeliling bangunan berdiri pagar besi setinggi satu meter. Dari sisi arsitektur, masjid yang mampu menampung 300 jamaah dalam 12 shaf ini ini terlihat sederhana, terdiri dari dua lantai, namun ukuran bangunan bagian atas sangat kecil, sehingga dari kejauhan tampak menyerupai kubah.
 
     Sejak berdiri, Masjid Katangka menjadi pintu utama penyebaran Islam di seluruh pelosok Sulawesi Selatan. Sederet ulama besar pernah punya andil menghidupkan syiar Islam di Masjid Katangka. Satu diantaranya ialah Syekh Yusuf Taj al-Khalawati, ulama sekaligus pejuang yang sempat dibuang Belanda ke Afrika Selatan, yang lebih dikenal dengan nama Tuanta Salamaka Sehingga Masjid Katangka merupakan benteng di dalam benteng, benteng pertahanan bagi raja dan keluarga besar Kerajaan Gowa.

     Masjid Al Hilal Katangka dulunya merupakan masjid kerajaan. Letak masjid berada di sebelah utara kompleks makam Sultan Hasanuddin. Lokasi makam  yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika itu. Sebuah jalan yang dikenal sebagai batu palantikang, merupakan jalan yang sering dilintasi raja dan keluarga menuju masjid. Sebelum sampai masjid kita akan menjumpai sebuah sumur yang usianya jauh lebih tua dari masjid Katangka, namanya Bungung Lompo, sebuah sumur yang tidak pernah kering meskipun musim kemarau melanda. Bungung ini dipakai oleh para prajurit Kerajaan Gowa mensucikan diri sebelum berangkat ke medan perang, dan setelah masjid tua Katangka berdiri, sumur ini kemudian menjadi tempat berwudhu para jamaah sebelum menunaikan sholat. Selain ‘Bungung Lompoa’, di dinding utara luar masjid juga terdapat satu sumur lagi, sumur itu sama tuanya dengan masjid Tua Al-Halil Katangka. Air dari sumur ini juga diyakini bertuah, bisa membuat awet muda bagi orang-orang yang berwudhu atau sekadar membasuh muka.
     Menurut Juru Kunci masjid Tua Al-halil Katangka, Masjid ini pernah memiliki koleksi kitab dan catatan yang berisi ilmu pengetahuan mengenai agama yang berusia tua dan berasal dari Arab, tapi banyak yang hilang dan telah musnah, sejumlah perangkat asli di masjid ini hilang dan musnah diakibatkan oleh dua kemungkinan, pertama boleh jadi karena dimakan usia, atau hilang akibat kemungkinan kedua, yakni perang. Saat perang berkecamuk antara Kerajaan Gowa dan Belanda, Masjid tua Katangka, berkali-kali dijadikan sebagai benteng pertahanan, ketebalan temboknya yang mencapai 120 centimeter dengan susunan batubata dalam posisi miring membuktikan kisah itu, bahwa Masjid Tua Katangka tidak sekadar tempat untuk sholat atau beribadah, tetapi inilah satu-satunya masjid di dunia yang sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan di masa peperangan. Masjid tua Katangka didirikan di dalam areal Benteng Kalegowa yang berarti masih dalam kawasan Istana Tamalatea. Benteng Kalegowa merupakan benteng terkuat yang dimiliki Kerajaan Gowa pada masa itu. Rumah-rumah raja dan bangsawan dibangun dalam benteng ini. Dinding Masjid Tua Katangka dibangun dengan bahan yang sama dengan dinding Benteng Kalegowa.
Menurut catatan sejarah, dinding Benteng Kalegowa dibuat dari susunan bata dengan posisi miring, tidak direbahkan sebagaimana posisi pemasangan batu-bata di zaman sekarang. Konon, untuk merekatkan bata tersebut hanya menggunakan telur dan kapur. Begitupula dengan konstruksi bangunan masjid dibuat sama dengan kontruksi bangunan benteng. Sehingga Masjid Katangka merupakan benteng di dalam benteng, benteng pertahanan bagi raja dan keluarga besar Kerajaan Gowa. Menurut juru Kunci Masjid Tua Al-halil Katangka, ketebalan dinding masjid mampu menahan serangan meriam atau bedil milik tentara Belanda. Serangan Belanda berhasil membumiratakan Benteng Kalegowa. Tidak sebata pun yang disisakan kecuali yang berada dalam dinding Masjid Katangka.
Tembok setebal 120 cm. Dibangun sekuat benteng pertahanan. Fungsi masjid sebagai benteng juga diperkuat dengan ditemukannya meriam beserta pelurunya saat dilakukan penggalian di bagian halaman masjid. Meriam tersebut kemudian dipindahkan ke komplek Makam Sultan Hasanuddin di Pallantikang.
“Plafon masjid yang terbuat dari seng plat tebal dan berombak itu juga didatangkan dari Belanda,” kata Juru Kunci Masjid ini sambil menunjuk ke arah plafon masjid. Pada plafon itu terdapat lampu lampion yang digantung dengan menggunakan gantungan besi. Tetapi lampion itu tidak pernah lagi dinyalakan, Masjid Tua Al Hilal Katangka ikut menyesuaikan diri dengan zaman; bedug diganti dengan pengeras suara, lampion diganti lampu listrik. Bahkan enam unit pendingin udara (air conditioner) telah terpasang di sudut-sudut ruangan masjid, untuk menggantikan fungsi jendela sebagai sirkulasi udara.   

Pada Gambar di samping  terlihat  dua lembing di sisi kiri kanan mihrab. Sebuah cerita unik mengenai keberadaan dua lembing di kiri dan kanan mihrab. Kedua lembing ini diikatkan bendera yang bertuliskan kalimat syahadat. Konon di masa lalu, setiap pelaksanaan sholat jumat di masjid ini, khatib yang bertugas membacakan naskah khotbah dikawal dan dijaga oleh dua prajurit Kerajaan Gowa. Dua prajurit bertombak itu bertugas mengawal dan menjaga khatib di atas mimbar, serta menghalau jemaah sholat jumat yang biasanya berlomba-lomba menggigit ujung naskah khotbah yang tengah dibacakan sang khatib.
“Waktu itu orang-orang percaya bahwa barang siapa yang mampu menggigit ujung naskah khotbah yang terbuat dari gulungan daun lontara, maka orang itu akan menjadi sakti dan kebal terhadap ujung senjata tajam jenis apapun,” kata Juru Kunci Masjid Tua Al-Halil Katangka memulai kisahnya.
Akibat munculnya kepercayaan tersebut, maka sholat jumat selalu berakhir kacau oleh jemaah yang berebutan menggigit ujung naskah khotbah yang dibacakan sang khatib. Raja Gowa, I Mangngarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Alauddin, kemudian mengutus dua prajurit bertombak untuk menjaga dan mengawal khatib serta menghalau jamaah yang berebutan ingin menggigit ujung naskah khotbah itu. Lama kelamaan seiring pemahaman masyarakat Gowa terhadap Islam semakin baik, dan kepercayaan tersebut sedikit demi sedikit berangsur hilang, maka khatib tidak lagi dikawal oleh prajurit, namun replika lembing atau tombak milik prajurit kerajaan tetap di pasang di sisi kiri dan kanan mihrab.
“Adapun bendera yang bertuliskan lafadz ‘Lailaha Illalloh’ itu merupakan simbol bahwa agama Islam secara resmi telah dijadikan sebagai agama Kerajaan Gowa-Tallo ketika itu. Tapi lembing yang berada di sisi mimbar, sudah bukan asli lagi. Bagian mimbar yang terbuat dari kayu juga sudah diganti karena sudah lapuk dimakan usia,”

2 comments:

  1. tulisan ini cukup bagus dan cukup lengkap...
    cuma perlu ditulis dari mana sumber referensinya....
    biar lebih ilmiah dan bisa dipertanggung-jawabkan...

    ReplyDelete
  2. yuuup... thank you kak buat sarannya. ini sumbernya dari beberapa masyarakat saya wawancarai pada saat survey, hasil survey langsung, dan mengambil beberapa berita lampau d internet... ke depannya akan lebih di perhatikan soal Sumbernya. Makasih :)

    ReplyDelete